I.
Diambil dari
Hidayatullah.com
http://www.hidayatullah.com/konsultasi/konsultasi-syariah/read/2012/07/02/5346/urutan-shalat-dalam-menjamak.html#.U29ysCimY0M
Senin, 2 Juli 2012 - 07:30 WIB
Assalamualaikum Wr. WbUstaz mohon penjelasan mengenai shalat saat bepergian. Yang ingin saya tanyakan, apakah shalat dengan menjama’ selalu mendahulukan shalat-shalat yang menjadi urutannya, seperti Dhuhur dan Ashar, serta Maghrib dan Isya’? Bagaimana misalnya kalau di tempat tujuan sudah memasuki Isya, lantas kita ikut berjamaah di masjid, apakah tetap mendahulukan Maghrib, atau bisa ikut berjamaah Isya dulu bersama mukimin, lalu shalat Maghrib? Berapa lama seseorang dianggap musafir di suatu tempat?
Assalaikumu’alaiku wr.wb
Pak Trisno yang terhormat, memang menurut hadis yang sahih, menjama’ shalat dalam perjalanan diperkenankan (mubah). Dan yang demikian adalah pendapat jumhur ulama selain Hanafiyyah. Satu hal yang memang tidak ada ketegasan dalilnya adalah mengenai keharusan melakukan dua shalat yang dijama’ tersebut secara berurut, baik secara sendirian (munfarid) maupun berjamaah bersama sesama musafir atau bermakmum kepada yang mukim.
Setelah kami melakukan penelusuran ke berbagai kitab fikih, ternyata hal ini tidak banyak mendapat perhatian pembahasan. Pembahsan secara eksplisit dan rinci hanya saya jumpai dalam kitab Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Dr. Wahbah al-Zuhaili, II: 355), itu pun hanya dalam dua madzhab, yaitu al-Syafi’i dan Ahmad. Masalah ini terjawab dalam penjelasan mengenai syarat jama’ taqdim dan ta’khir dalam kedua madzhab tersebut.
Untuk jama’ taqdim disyaratkan :
1. Niat menjama’ tatkala melakukan
shalat yang pertama, walaupun pada saat sebelum salam.
2. Tertib, yaitu melaksanakan
shalat yang pertama (shalat pemilik waktu, yang lebih dahulu secara waktu).
3. Dua shalat itu tidak dipisahkan
dengan pemisah waktu yang lama
4. Tetapnya kondisi mushalli dalam
kondisi udzur (rukhshah) hingga melakukan takbirat al-ihram.
Adapun untuk jama’ ta’khir, maka hanya ada dua syarat, yaitu:
1. Niat menjama’ ta’khir sebelum
datangnya waktu shalat yang kedua
2. Bertahannya kondisi safar sampai
selesai shalat yang kedua. Namun syarat yang kedua ini ditentang oleh Imam
Ahmad. Menurutnya kondisi safar harus tetap ada, hanya sampai memasuki waktu
shalat yang kedua saja.
3. Menurut Ahmad, walaupun jama’ ta’khir,
tertib sesuai urutan waktu adalah wajib.
Bila demikian, mengenai perurutan shalat dalam jama’ ta’khir, Isya’ dahulu
kemudian Maghrib –misalnya- seperti yang Anda tanyakan, saya lebih mantap
berpendapat perlunya pemisahan.Pertama, bila pelaksanaan kedua shalat itu dalam kondisi yang sama, maka berurut –shalat Magrib dulu kemudian Isya’- maka, lebih sesuai dengan sunnah Nabi, sebab tak ada satu riwayat pun yang menyatakan Nabi melakukan tanpa berurut.
Kedua, bila kondisinya berbeda, -misalnya ketika hendak shalat, ternyata jamaah shalat Isya’ sedang berlangsung, sementara bila mendahulukan shalat Maghrib sendirian atau dengan jamaah sedikit, akan ketinggalan jamaah yang banyak, maka mendahulukan Isya’ lebih afdhal.
Wallahu a’lam.*
II.
Diambil
dari KonsultasiSyariah.com :
April 11,
2013
Pertanyaan:
Bismillah
Assalamu’alaikum
warahamatullah wabarakatuh
Ada yang mau ditanyakan, mengenai shalat jamak takhir. Misalkan
kita menjamak shalat maghrib di waktu isya, mana yang didahulukan? Shalat isya
terlebih dahulu baru maghrib atau sebaliknya, maghrib dahulu baru isya?Dengan beberapa asumsi berikut:
1. Kita ikut berjamaah di masjid
di waktu isya.
2. Kita shalat sendiri di rumah.
Dan apakah safar bisa
menjadi salah satu syarat untuk tidak ikut berjamaah?
Dari: Alfanur
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullah
wabarakatuh
Jika shalat sendiri, maghrib dulu baru isya. Jika jamaah isya di masjid,
mayoritas ulama dalam kondisi ini membolehkan isya
dulu baru maghrib.
Dijawab oleh Ustadz
Aris Munandar, M.PI (Dewan Pembina
KonsultasiSyariah.com)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
Artikel ini disponsori oleh
Zahir Accounting. Software Akuntansi Terbaik di Indonesia.
III.
Diambil
dari Blog nya PPAFAIZ
February 26, 2011 § 3 Comments
…beberapa waktu yang lalu, dikarenakan perjalanan yang panjang dan ditempuh dalam waktu yang lumayan lama, kira-kira 5 jam, mau tidak mau ketika papafaiz hendak mengerjakan
shalat dilakukan secara jama’. Pada saat itu yang menjadi pilihan adalah
jama’ takhir. |
Seingat papafaiz yang pernah mendengar dari seorang ustadz waktu ta’lim, shalat itu dikerjakan sesuai urutannya. Jadi, meskipun yang dilakukan adalah jama’ takhir, tidak serta merta waktu shalat yang kedua didahulukan lebih dulu dari shalat waktu yang pertamaNamun, pada waktu itu penjelasan papafaiz memang tidak bisa digunakan, karena faktor lupa. Alhasil, pada waktu itu, dengan penuh pertanyaan yang belum pasti, papafaiz mengikuti shalat jama’ bersama dengan teman tersebut, mendahulukan shalat isya dulu baru kemudian mengerjakan shalat maghrib.
…
karena penasaran, papafaiz mencoba bertanya sama ustadz google tentang pelaksanaan shalat jama’ takhir ini yang sesuai dengan sunnah dari rosulullah. Baru saja papafaiz temukan jawabannya di forum assunnah.
yuk disimak..
>From: “M. Fakhrur Razi”
>Date: Mon, 1 Sep 2003 07:38:24 +0700
>Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
>Afwan , karena minimnya ilmu saya
>saya mau tanya ttg shalat jamak takhir,
>misalnya antara dhuhur dengan ashar, shalat mana yg kita dahulukan?
>dan apakah aturan bahwa setelah shalat ashar tidak ada shalat lagi,
>tetap berlaku pada shalat jamak takhir?
>mohon penjelasannya,
>wassalam,
Sesuai dengan tertibnya shalat, maka yang harus didahulukan dalam jama’ ta’khir seperti kasus diatas (shalat Zhuhur dan Ashar pada waktu shalat Ashar) ialah melakukan shalat Zhuhur terlebih dahulu untuk kemudian melakukan shalat Ashar, hal ini seperti apa yang di jelaskan oleh Syaikh Al-Imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani menjawab pertanyaan seseorang yang tertinggal shalat Maghrib dan mendapatkan Imam di masjid sedang shalat Isya, maka yang harus didahulukan oleh orang yang tertinggal shalat tersebut adalah mengikuti Imam yang sedang shalat Isya dengan niat Shalat Maghrib, lengkapnya saya salinkan dibawah ini :
Pertanyaan :
Seorang masuk masjid pada saat ‘iqomah’ untuk shalat Isya, sedangkan orang tersebut belum shalat Maghrib karena suatu udzur/alasan. Apa yang harus ia lakukan ?
Jawaban.
Dia shalat mengikuti Imam yang melaksanakan shalat Isya dengan niat shalat Maghrib. Jika Imam bangkit berdiri rakaat yang keempat, maka orang tersebut berniat untuk memisahkan diri dari Imam tadi, lalu ia duduk bertasyahud sendiri dan menyelesaikan shalatnya. [al-Ashalah I, hal : 49]
[Biografi Syaikh Al-Albani, Mujadid dan Ahli Hadits Abad Ini, hal 225,
terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i]
IV.
Diambil dari
Blognya Agoesriadhi.blogspot.com
http://agoesriadhi.blogspot.com/2013/05/tata-cara-shalat-jama-dan-qashar.htmlRabu, 29 Mei 2013
TATA CARA SHALAT JAMA' DAN QASHAR
Seputar Shalat Jama' dan Qashar
Posted
by Yulia Nisa
Sehubungan masih
banyaknya pertanyaan seputar Sholat jamak dan Sholat Qashar berikut ana share lagi artikel tersebut, semoga bisa sedikit
membantu pertanyaan yang belum terjawab.
I. PENGERTIAN
SHOLAT JAMA'
Shalat yang
digabungkan, yaitu mengumpulkan dua shalat fardhu yang dilaksanakan
dalam satu waktu. Misalnya, shalat dzuhur dan Ashar
dikerjakan pada waktu Dzuhur atau pada waktu Ashar. Shalat Maghrib dan Isya’
dilaksanakan pada waktu Maghrib atau pada waktu Isya’.
Sedangkan Subuh
tetap pada waktunya dan tidak boleh digabungkan dengan shalat lain. Shalat
Jama' ini boleh dilaksankan karena bebrapa alasan
(halangan) berikut ini:
a. Dalam perjalanan yang bukan untuk maksiat
b. Apabila turun hujan lebat
c. Karena sakit dan takut
d. Jarak yang ditempuh cukup jauh, yakni 81 km (Begitulah yang
disepakati oleh sebagian Imam Madzhab sebagaimana disebutkan
dalam kitab AL-Fikih, Ala al Madzhabhib al Arba’ah, sebagaimana
pendapat para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali.)
Tetapi sebagian
ulama lagi berpendapat bahwa jarak perjalanan (musafir) itu sekurang-kurangnya dua
hari perjalanan kaki atau dua marhalah,
yaitu 16 (enam belas) Farsah, sama dengan 138 (seratus tiga puluh
delapan) km.
Menjama’ shalat
boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya-baik musafir atau bukan- dan
tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi dilakukan ketika
diperlukan saja. (lihat Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/308-310 dan Fiqhus
Sunnah 1/316-317).
Syeikhul Islam
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa qashar shalat hanya disebabkan oleh safar
(bepergian) dan tidak diperbolehkan bagi orang yang tidak safar. Adapun jama’
shalat disebabkan adanya keperluan dan uzur. Apabila seseorang membutuhkannya
(adanya seuatu keperluan) maka dibolehkan baginya melakukan jama’ shalat dalam
suatu perjalanan jarak jauh maupun dekat, demikian pula jama’ shalat juga
disebabkan hujan atau sejenisnya, juga bagi seorang yang sedang sakit atau
sejenisnya atau sebab-sebab lainnya karena tujuan dari itu semua adalah
mengangkat kesulitan yang dihadapi umatnya.” (Majmu’ al Fatawa juz XXII hal
293)
Termasuk udzur
yang membolehkan seseorang untuk menjama’ shalatnya adalah musafir ketika masih
dalam perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan (HR. Bukhari, Muslim), turunnya hujan (HR. Muslim, Ibnu Majah dll),
dan orang sakit. (Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/310, Al Wajiz, Abdul Adhim bin Badawi Al Khalafi 139-141, Fiqhus Sunnah 1/313-317).
Berkata Imam
Nawawi rahimahullah :”Sebagian Imam (ulama) berpendapat bahwa seorang yang
mukim boleh menjama’ shalatnya apabila diperlukan asalkan tidak dijadikan
sebagai kebiasaan.” (lihat Syarah Muslim, imam Nawawi 5/219 dan Al Wajiz fi
Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz 141).
Dari Ibnu Abbas
radhiallahu anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
menjama’ara Dhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib
dengan Isya’ di Madinah tanpa sebab takut dan safar
(dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanya hal itu
kepada Ibnu Abbas beliau menjawab:”Bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
tidak ingin memberatkan umatnya.” (HR.Muslim dll. Lihat Sahihul Jami’ 1070).
Shalat jama'
dapat dilaksanakan dengan 2 (dua) cara:
1. Jama' Taqdim (Jama' yang didahulukan) yaitu menjama' 2 (dua) shalat dan
melaksanakannya pada waktu shalat yang pertama. Misalnya shalat Dzuhur dan
Ashar dilaksanakan pada waktu Dzuhur atau shalat Maghrib dan Isya’
dilaksanakan pada waktu Maghrib.
Syarat syah Jama'
Taqdim ialah:
a. Berniat menjama' shalat kedua pada shalat pertama
b. Mendahulukan shalat pertama, baru disusul shalat kedua
c. Berurutan, artinya tidak diselingi dengan perbuatan atau perkataan
lain, kecuali duduk, iqomat atau sesuatu keperluan yang sangat penting
2. Jama' Ta’khir (jamak yang diakhirkan), yaitu menjamak 2 (dua) shalat dan
melaksanakannya pada waktu shalat yang kedua. Misalnya, shalat Dzuhur dan
Ashar dilaksanakan pada waktu Ashar atau shalat Maghrib dan
shalat Isya’ dilaksanakan pada waktu shalat Isya’
- Syarat Sah Jama' Ta’khir ialah:
a. Niat (melafazhkan pada shalat pertama) yaitu : ”Aku ta’khirkan
shalat Dzuhurku diwaktu Ashar.”
b. Berurutan, artinya tidak diselingi dengan perbuatan atau perkataan
lain, kecuali duduk, iqomat atau sesuatu keperluan yang sangat penting.
NOTE : Dalam Jama' ta’khir tidak disyaratkan mendahulukan shalat
pertama atau shalat kedua. Misalnya shalat Dzuhur dan Ashar boleh mendahulukan
Ashar baru Dzuhur atau sebaliknya. Muadz bin Jabal menerangkan
bahwasanya Nabi SAW dipeperangan Tabuk, apabila telah tergelincir
matahari sebelum beliau berangkat, beliau kumpulkan antara Dzuhur dan Ashar dan
apabila beliau ta’khirkan shalat Ashar. Dalam shalat Maghrib begitu juga, jika
terbenam matahari sebelum berangkat, Nabi SAW mengumpulkan Maghrib
dengan Isya’ jika beliau berangkat sebelum terbenam matahari beliau ta’khirkan
Maghrib sehingga beliau singgah (berhenti) untuk Isya’ kemudian beliau
menjama'kan antara keduanya.
MENJAMA’ SHOLAT
JUM’AT DENGAN ASHAR
Tidak
diperbolehkan menjama’ antara shalat Jum’at dengan shalat Ashar dengan alas an
apapun-baik musafir, orang sakit, turun hujan atau ada keperluan dll-, walaupun
dia adalah orang yang di perbolehkan menjama’ antara
Dhuhur dengan Ashar.
Hal ini
disebabkan tidak adanya dalil tentang menjama’ antara Jum’at dan Ashar, dan
yang ada adalah menjama’ antara Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya’.
Jum’at tidak bisa diqiyaskan dengan Dhuhur karena sangat banyak perbedaan
antara keduanya. Ibadah harus dengan dasar dan dalil, apabila ada yang
mengatakan boleh maka silahkan dia menyebutkan dasar dan dalilnya dan dia tidak
akan mendapatkannya karena tidak ada satu dalilpun dalam hal ini.
Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Barangsiapa membuat perkara baru
dalam urusan kami ini (dalam agama) yang bukan dari padanya (tidak berdasar)
maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat
lain: “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah kami
(tidak ada ajarannya) maka amalannya tertolak.” (HR.Muslim).
Jadi kembali pada
hukum asal, yaitu wajib mendirikan shalat pada waktunya masing-masing kecuali
apabila ada dalil yang membolehkan untuk menjama’ dengan shalat lain. (Lihat
Majmu’ Fatawa Syaihk Utsaimin 15/369-378)
MUSAFIR SHALAT
DIBELAKANG MUKIM
Shalat berjama’ah
adalah wajib bagi orang mukim ataupun musafir, apabila seorang musafir shalat
dibelakang imam yang mukim maka dia mengikuti shalat imam tersebut yaitu empat
raka’at, namun apabila ia shalat bersama-sama musafir maka shalatnya di qashar
(dua raka’at). Hal ini didasarkan atas riwayat yang shahih dati Ibnu Abbas
radhiallahu anhuma. Berkata Musa bin Salamah: Suatu ketika kami di Makkah (musafir) bersama Ibnu Abbas, lalu aku bertanya:”Kami
melakukan shalat empat raka’at apabila bersama kamu (penduduk Makkah), dan
apabila kami kembali ke tempat kami (bersama-sama musafir) maka kami shalat dua
raka’at?” Ibnu ABbas radhiallahu anhuma menjawab: “Itu adalah sunnahnya Abul
Qasim (Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam).” (Riwayat Imam Ahmad dg
sanad shahih. Lihat Irwa’ul Ghalil no 571 dan Tamamul Minnah, Syaikh AL ALbani 317).
MUSAFIR MENJADI
IMAM MUKIM
Apabila musafir
dijadikan sebagai imam orang-orang mukim dan dia mengqashar shalatnya maka
hendaklah orang-orang yang mukim meneruskan shalat mereka sampai selesai (empat
raka’at), namun agar tidak terjadi kebingungan hendaklah imam yang musafir
memberi tahu makmumnya bahwa dia shalat qashar dan hendaklah mereka (makmum
yang mukim) meneruskan shalat mereka sendiri-sendiri dan tidak mengikuti salam
setelah dia (imam) salam dari dua raka’at. Hal ini pernah dilakukan Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi imam
penduduk Makkah, beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berkata: “Sempurnakanlah
shalatmu (empat raka’at) wahai penduduk Makkah! Karena kami adalah musafir.”
(HR. Abu Dawud). Belai Shalallahu ‘Alaihi Wassalam shalat dua-dua
(qashar) dan mereka meneruskan sampai empat raka’at setelah beliau salam. (lihat
Al Majmu Syarah Muhadzdzab 4/178 dan Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/269).
Apabila imam yang
musafir tersebut khawatir membingungkan makmumnya dan dia shalat empat raka’at
(tidak mengqashar) maka tidaklah mengapa karena hukum qashar adalah sunnah
mu’akkadah dan bukan wajib. (lihat Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah bin
Abdir Rahman Al Bassam 2/294-295).
SHALAT JUM’AT
BAGI MUSAFIR
Kebanyakan ulama
berpendapat bahwa tidak ada shalat jum’at bagi musafir, namun apabila musafir
tersebut tinggal di suatu daerah yang diadakan shalat Jum’at maka wajib atasnya
untuk mengikuti shalat Jum’at bersama mereka. Ini adalah pendapat imam Malik, imam
Syafi’i, Ats Tsauriy, Ishaq, Abu Tsaur, dll. (lihat AL Mughni, Ibnu Qudamah
3/216, Al Majmu’ Syar Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248, lihat pula Majmu’
Fatawa Syaikh Utsaimin 15/370).
Dalilnya adalah
bahwasanya Nabi Muhammad SAW apabila safar (bepergian) tidak shalat jum’at
dalam safarnya, juga ketika haji wada’, beliau SAW tidak melaksanakan shalat
Jum’at dan menggantinya dengan shalat Dhuhur yang di jama’ dengan Ashar. (lihat
Hajjatun Nabi SAW Kama Rawaaha Anhu Jabir, karya Syaikh Muhammad Nasiruddin Al
Albani hal 73). Demikian pula para Khulafa’ Ar Rasyidun (empat khalifah)
radhiallahu anhum dan para sahabat lainnya radhiallahu anhum serta orang-orang
yang setelah mereka apabila safar tidak shalat Jum’at dan menggantinya dengan
Dhuhur. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).
Dari Al Hasan Al
Basri, dari Abdur Rahman bin Samurah berkata: “Aku tinggal bersama dia (Al
Hasan Al Basri) di Kabul selama dua tahun mengqashar shalat dan tidak shalat
Jum’at.”
Sahabat Anas
radhiallahu anhu tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau tidak
melaksanakan shalat Jum’at.
Ibnul Mundzir
rahimahullahu menyebutkan bahwa ini adalah Ijma’ (kesepakatan para ulama) yang
berdasar hadist shaihi dalam hal ini sehingg tidak diperbolehkan
menyelisihinya. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).
II. PENGERTIAN
SHOLAT QASHAR
Shalat yang
diringkas, yaitu shalat fardhu yang 4 (empat) rakat (Dzuhur, Ashar dan Isya’)
dijadikan 2 (dua) rakaat, masing-masing dilaksanakan tetap pada waktunya.
Sebagaimana menjamak shalat, mengqashar shalat hukumnya sunnah. Dan ini
merupakan rushah (keringanan) dari Allah SWT bagi orang-orang
yang memenuhi persyaratan tertentu.
Adapun syarat
syah shalah Qashar sama dengan shalat Jamak, hanya ditambah :
1. Shalatnya yang
4 (empat) rakaat
2. Tidak makmum
kepada orang yang shalat sempurna
3. Harus memahami
cara melakukan
4. Masih dalam
perjalanan, bila sudah sampai dirumah harus dikerjakan sempurna walaupun tetap
jama'.
- Perhatikan Hadist Nabi SAW :
”Rasulullah SAW tidak bepergian, melainkan mengerjakan
shalat dua raka’at saja sehingga beliau kembali dari perjalanannya dan
bahwasanya beliau telah bermukim di Mekkah di masa Fathul Mekkah selama delapan
belas malam, beliau mengerjakan shalat dengan para Jama’ah dua raka’at
kecuali shalat Maghrib. Kemudian bersabda Rasulullah SAW: ”Wahai
penduduk mekkah, bershalatlah kamu sekalian dua raka’at lagi, kami
adalah orang – orang yang dalam perjalanan.” (HR. Abu Daud)
- Sedangkan cara melaksanakan shalat Qashar adalah :
1. Niat shalat qashar ketika
takbiratul ihram.
2. Mengerjakan shalat yang empat rakaat dilaksanakan dua
rakaat kemudian salam
- Firman Allah SWT
”Bila kamu mengadakan perjalanan dimuka bumi, tidaklah kamu berdosa
jika kamu memendekkan shalat...” (QS. An-Nisa: 101)
- Nabi SAW bersabda:
”Dari Ibnu Abbas
ra ia berkata: ”Shalat itu difardhukan atau diwajibkan atas lidah Nabimu
didalam hadlar (mukim) empat rakaat, didalam safar (perjalanan) dua
rakaat dan didalam khauf (keadaan takut/perang) satu rakaat.” (HR.
Muslim)
JARAK SAFAR YANG
DIPERBOLEHKAN MENGQASHAR
Qashar hanya
boleh dilakukan oleh Musafir-baik safar dekat atau safar jauh-, karena tidak
ada dalil yang membatasi jarak tertentu dalam hal ini, jadi seseorang yang
bepergian boleh melakukan qashar apabila bepergiannya bisa disebut safar
menurut pengertian umumnya. sebagian ulama memberikan batasan dengan safar yang
lebih dari 80 Km agar tidak terjadi kebingungan dan tidak rancu, namun pendapat
ini tidak berdasarkan dalil shahih yang jelas. (lihat Al Muhalla, Ibnu Hazm
21/5, Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim 1/481, Fiqhua Sunnah, Sayyid Sabiq 1/307-308,
As Shalah, Prof. Dr. Abdullah Ath Thayyar 160-161, Al Wajiz, Abdul Adhim Al
Khalafi 138).
Apabila terjadi
kerancuan dan kebingungan dalam menentukan jarak atau batasan diperbolehkannya
mengqashar shalat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat yang menentukan
jarak dan batasan tersebut-yaitu sekitar 80 atau 90 Km-, karena pendapat ini
juga merupakan pendapat para Imam dan Ulama yang layak berijtihad. (lihat
Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/265).
Seorang musafir
diperbolehkan mengqashar shalatnya apabila telah meninggalkan kampong
halamannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya. (Al Wajiz, Abdul ‘Adhim Al
Khalafi 138).
Berkata Ibnu
Mundzir: “Aku tidak mengetahui (satu dalilpun) bahwa Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wassalam mengqashar dalam safarnya melainkan setelah keluar
(meninggalkan) kota Madinah.”
Berkata Anas
radhiallahu ‘anhu: “Aku shalat bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam di kota Madinah empar raka’at dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah)
dua raka’at.” (HR. Bukhari, Muslim dll).
SAMPAI KAPAN
MUSAFIR BOLEH MENGQASHAR SHALAT
Para ulama
berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan sebagai
musafir dan diperbolehkan mengqashar (meringkas) shalat. Jumhur (sebagian
besar) ulama yang termasuk didalamnya imam empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hambali rahimahumullah berpendapat bahwa ada batasan waktu tertentu.
Namun para ulama
lain diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Abdur Rahman As Sa’di, Syaikh Bin
Biz, Syaikh Utsaimin dan para ulama lainnya rahimahumullah berpendapat bahwa
seorang musafir diperbolehkan untuk mengqashar shalat selama ia mempunyai
niatan untuk kembali ke kampong halamannya walaupun ia berada di perantauannya
selama bertahun-tahun. Karena tidak ada satu dalilpun yang shahih dan secara
tegas menerangkan tentang batasan waktu dalam masalah ini. Dan pendapat inilah
yang rajah (kuat) berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak, diantaranya:
Sahabat Jabir
radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari mengqashar shalat. (HR. Imam
Ahmad dll dg sanad shahih)
Sahabat Ibnu
Abbas radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wassalam tinggal di Makkah selama sembilan belas hari mengqashar
shalat. (HR. Bukhari).
Nafi’
rahimahullah meriwayatkan, bahwasanya Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma tinggal di
azzerbaijan selama enam bulan mengqashar shalat. (Riwayat Al Baihaqi dll dg
sanad shahih).
Dalil-dalil
diatas jelaslah bahwa Rasulullah Shalallahu “alaihi Wassalam tidak memberikan
batasan waktu tertentu untuk diperbolehkannya mengqashar shalat bagi musafir
selama mereka mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya dan tidak
berniat untuk menetap di daerah perantauan tersebut. (lihat Majmu’ Fatawa
Syaikh Utsaimin jilid 15, Irwa’ul Ghalil Syaikh Al Albani jilid 3, Fiqhus
Sunnah 1/309-312).
BOLEHKAH
MELAKUKAN SHOLAT JAMAK SEKALIGUS SHOLAT QASHAR
Sholat Jamak
sekaligus Sholat Qashar artinya Sholat dengan mengumpulkan dua shalat
fardhu dalam satu waktu dan meringkas rakaatnya yang semula empat
rakaat menjadi dua rakaat. apa Dalilnya?
Perhatikan Hadist
dari Ibnu Umar berikut ini:
”Pernah Rasulullah
SAW menjamak Qashar shalat Maghrib dengan shalat Isya’, beliau laksanakan
Maghrib tiga rakat dan Isya’ dua rakaat dengan satu kali iqomah.”
(HR. Abu Daud dan Turmudzi)
Shalat Jamak
Qashar dapat pula dilaksanakan secara taqdim dan ta’khir. Jika
hendak melakukan Jamak Qashar, umpamanya kita mengumpulkan Ashar dengan Dzuhur
yakni kita tarik shalat Ashar kedalam shalat Dzuhur maka hendaklah kita sesudah
Adzan dan Iqomah mengerjakan shalat Dzuhur dua rakaat, setelah selesai
Dzuhur iqomah lagi, setelah itu mengerjakan shalat Ashar dua rakaat.
Secara pribadi,
saya ketika berpergian jauh maka lebih senang melakukan sholat jamak sekaligus
qashar, baik secara takdim maupun takhir.
MENGUCAPKAN
LAFADZ NIAT KETIKA SHOLAT
Tentang melafadzkan
niat, saya secara pribadi ketika ditanya oleh kerabat atau teman tentang
melafadzkan niat maka saya hanya balik bertanya bahwa adakah dalil yang
menunjukan bahwa harus melafadzkan niat ketika memuali sholat? karena bagi saya
niat itu di dalam hati, tidak perlu dilafadzkan, sama hal nya ketika orang
berniat mau makan apakah dia harus mengucapkan kalimat niat seperti
"sengaja aku makan karena lapar" kan gak masuk di akal. apalagi dalam
perkara ibadah.
sering sekali
kita ketika menjadi Makmum di masjid mendengar Imam melafadkan niat dengan
keras, dan yang menjadi makmum dengan suara pelan. nah, mari kita lihat
pendapat para 'ulama seputar melafadzkan niat secara pelan dan keras.
Mengucapkan niat
dengan bersuara keras
Dalam Qaul
Mubin fi Akhta’ al-Mushallin halaman 95 disebutkan, “Mengucapkan niat
dengan suara keras hukumnya tidaklah wajib tidak pula dianjurkan berdasarkan
kesepakatan seluruh ulama. Bahkan orang yang melakukannya dinilai sebagai orang
yang membuat kreasi dalam agama yang menyelisihi syariat. Jika ada orang yang
melakukan hal demikian karena berkeyakinan bahwa hal tersebut merupakan bagian
dari syariat Islam maka orang tersebut adalah orang yang tidak paham tentang
agama dan tersesat dari jalan yang benar. Bahkan orang tersebut berhak untuk
mendapatkan hukuman dari penguasa jika dia terus-menerus melakukan hal tersebut
setelah diberikan penjelasan. Terlebih lagi jika orang tersebut mengganggu
orang yang berada di sampingnya disebabkan bersuara keras atau mengulang-ulangi
bacaan niat berkali-kali.”
Nadzim Muhammad
Sulthan mengatakan, “Mengucapkan niat dengan suara keras adalah kreasi dalam
agama dan satu perbuatan yang dinilai munkar karena hal tersebut tidak terdapat
dalam al-Quran dan hadits Nabi satupun dalil yang menunjukkan disyariatkannya
hal diatas. Padahal kita semua mengetahui bahwa hukum asal ibadah adalah haram
dan ibadah tidak boleh ditetapkan kecuali berdasarkan dalil.” (Qawaid wa
Fawaid min al-Arbain an-Nawawiyah, halaaman 31)
Jamaluddin Abu
Rabi’ Sulaiman bin Umar yang bermadzhab Syafi’i mengatakan, “Mengucapkan
niat dengan suara keras dan juga membaca al-fatihah atau surat dengan suara
keras dibelakang Imam bukanlah termasuk sunnah Nabi bahkan hukumnya makruh.
Jika dengan perbuatan tersebut jamaah shalat yang lain terganggu maka hukumnya
berubah menjadi haram. Barang siapa yang menyatakan bahwa mengucapkan niat
dengan bersuara keras adalah dianjurkan maka orang tersebut sudah keliru karena
siapapun dilarang untuk berkata-kata tentang agama Allah ini tanpa ilmu.”
(al-A’lam, 3/194)
Syaikh Alauddin
al-A’thar berkata, “Mengucapkan niat dengan suara keras yang mengganggu
jamaah shalat yang lain hukumnya adalah haram dengan kesepakatan ulama. Jika
tidak menggangu yang lain maka hukumnya adalah kreasi dalam agama (baca:
bid’ah) yang jelek. Jika ada orang yang melakukan hal tersebut bermaksud riya
dengan lafadz niat yang dia ucapkan maka hukumnya haram. Karena dua alas an:
riya dan pengucapan niat itu sendiri.
Orang yang
mengingkari pendapat bahwa mengucapkan niat itu dianjurkan adalah orang yang
benar. Sedangkan orang yang membenarkannya adalah orang yang keliru. Meyakini
hal tersebut bagian dari agama Allah merupakan sebuah kekufuran. Sedangkan
apabila tidak diyakini sebagai bagian dari agama Allah maka bernilai
kemaksiatan. Setiap orang yang memiliki kemampuan untuk mencegah perbuatan ini
memiliki kewajiban untuk mencegah dan melarangnya. Mengucapkan niat tidaklah
diajarkan oleh Rasulullah shahabat, dan tidak pula seorangpun ulama yang
menjadi panutan umat.” (Majmu’ah ar-Rasail al-Kubra
1/254)
Abu Abdillah
Muhammad bin al-Qasim al-Thunisi yang mermadzhab Maliki mengatakan, “Niat
merupakan perbuatan hati. Mengucapkan niat dengan suara keras adalah bid’ah di
samping mengganggu orang lain.” (Lihat Majmu’ah ar-Rasail al-Kubra hal 1/254-157)
Mengucapkan Niat
dengan Suara Pelan
Syaikh Masyhur
al-Salman mengatakan, “Demikian pula mengucapkan niat dengan suara pelan
tidaklah diwajibkan Menurut Imam Madzhab yang empat dan para ulama yang
lainnya. Tidak ada seorang ulama pun yang mewajibkan hal tersebut, baik dalam
berwudhu, shalat atau pun berpuasa.” (al-Qoul al-Mubin halaman 96)
Abu Dawud pernah
bertanya kepada Imam Ahmad, “Apakah diperbolehkan mengucapkan sesuatu
sebelum membaca takbiratul ihram?” “Tidak boleh,” jawab Imam Ahmad.
(Majmu’ Fatawa XII/28)
Dalam al-Amru bil
Ittiba’, halaman 28, Suyuthi yang bermadzhab Syafi’i mengatakan, “Di antara
perbuatan bid’ah adalah was-was berkenaan dengan niat shalat. Hal tersebut
tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para shahabat. Mereka tidak pernah
mengucapkan niat shalat. Mereka hanya memulai shalat dengan Takbiratul Ihram
padahal Allah berfirman, yang artinya, “Sungguh, pada diri Nabi telah ada suri
tauladan yang baik.” (QS al-Ahzab: 21)
Imam Syafi’i
sendiri menyatakan, “Bahwa was-was berkenaan dengan niat shalat dan berwudhu
merupakan dampak dari ketidakpahaman dari aturan syariat. Dan akal pikiran yang
sudah tidak waras lagi.”
Mengucapkan niat
memiliki dampak negatif yang sangat banyak sekali. Kita lihat ada seorang yang
mengucapkan niat shalat secara jelas dan terang kemudian dia berkeinginan untuk
mengucapkan takbiratul ihram. Orang tersebut lantas mengulangi lagi ucapan
niatnya karena menganggap dia belum berniat dengan benar.
Ibn Abi al-Iz
yang bermadzhab Hanafi mengatakan, “Tidak ada seorang pun di antara Imam
Madzhab yang empat baik Imam syafi’i atau yang lainnya yang mewajibkan ucapan
niat sebelum beribadah.”
Memang juga harus
kita hormati orang yang melafadzkan niat, karena mereka juga mengetengahkan
pendapat, walaupun tersebut menurut sebagian 'ulama adalah lemah. yakni mereka
yang mengatakan boleh melafadzkan niat adalah dengan mengutip pendapat Imam
syafe'i yang berkata
“Shalat
itu tidak seperti zakat. Tidak boleh seorang pun memasuki shalat ini kecuali
dengan zikir”.
Mereka menyangka
bahwa zikir yang dimaksud adalah ucapan niat seorang yang shalat. Padahal yang
dimaksudkan oleh Imam Syafi’i – semoga Allah merahmatinya – dengan zikir ini
tidak lain adalah takbiratul ihram. Bagaimana mungkin Imam Syafi’i menyukai
perkara yang tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam satu
shalat pun, begitu pula oleh para khalifah beliau dan para sahabat yang lain.
Inilah petunjuk dan jalan hidup mereka. Kalau ada seseorang yang bisa
menunjukkan kepada kita satu huruf dari mereka tentang perkara ini, maka kita
akan menerimanya dan menyambutnya dengan ketundukan dan penerimaan. Karena
tidak ada petunjuk yang lebih sempurna daripada petunjuk mereka, dan tidak ada
sunnah kecuali yang diambil dari pemilik syari’at Shallallahu ‘alaihi wasallam.
(Zaadul Ma`ad : 1/201)
itulah kenapa
Imam an Nawawi sebagai salah satu 'ulama dari madzab Syafe'i berkata, "Tempat
niat adalah hati dengan kesepakatan para Ulama. Tetapi ada sebagian ulama
mutaakhirin (belakangan) yang mewajibkan mengucapkan niat dan dinyatakan
sebagai salah satu pendapat dari Imam syafi’i. Ini adalah sebuah kesalahan! Di
samping itu, pendapat tersebut melanggar kesepakatan para ulama yang sudah ada
sebelumnya.” Demikian komentar Nawawi.” (al-Ittiba’ halaman 62)
Namun pula,
disamping alasan di atas, ada juga sebagian 'ulama yang berpendapat bahwa
melafadzkan niat itu hukumnya sunnah, bukan bid'ah sebagaimana yang 'ulama lain
fahami. karena bagi para 'ulama yang mengadopsi boleh melafadzkan niat ketika
mau sholat maka itu bukan termasuk rukun sholat, karena menurut mereka Niat
shalat tidak sama dengan melafadzkan niat. namun mereka sepakat jika
dikatakan niat adalah di dalam hati, karena memang niat adalah amalan hati,
bukan fisik.
Niat shalat
dilakukan bersamaan dengan takbiratul Ihram, merupakan bagian dari shalat
(rukun shalat), adapun melafadzkan niat (mengucapkan niat) adalah amalan lisan
(aktifitas lisan), yang hanya dilakukan sebelum takbiratul Ihram, artinya
dilakukan sebelum masuk dalam bagian shalat (rukun shalat) dan bukan merupakan
bagian dari rukun shalat.
sebenarnya tidak
ada perbedaan mendasar antar masing2 pendapat dari 'ulama tsb, saya disini
mencoba untuk memahami dimana letak perbedaan dan persamaanya.
jikalau kita
lihat, masing2 dari 'ulama tersebut sepakat bahwa niat itu adalah perkara hati,
bukan perkara fisik, dan mereka juga bersepakat yang namanya niat itu
dikerjakan bersamaan dengan takbiratul ihram, bukan sebelum atau sesudahnya.
kita ketahui
bersama juga bahwa permulaan shalat adalah niat dan takbiratul ihram dilakukan
bersamaan dengan niat. Niat tidak mendahului takbir (Takbiratul Ihram) dan
tidak pula sesudah takbir. Sebagaimana dikatakan oleh al-Imam asy-Syafi’I dalam
kitab Al-Umm Juz 1, pada Bab Niat pada Shalat (باب النية في الصلاة ) ;
قال الشافع:
والنية لا تقوم مقام التكبير ولا تجزيه النية إلا أن تكون مع التكبير لا تتقدم التكبير
ولا تكون بعده
“..niat tidak
bisa menggantikan takbir, dan niat tiada memadai selain bersamaan dengan
Takbir, niat tidak mendahului takbir dan tidak (pula) sesudah Takbir.”
Sekali lagi, niat
itu bersamaan dengan Takbir. Hal senada juga dinyatakan oleh al-‘Allamah
asy-Syaikh Zainuddin bin Abdul ‘Aziz al-Malibariy asy-Syafi’i dalam Fathul
Mu’in Hal 16 ;
. (مقرونا به)
أي بالتكبير، (النية) لان التكبير أول أركان الصلاة فتجب مقارنتها به،
“..Takbiratul
ihram harus dilakukan bersamaan dengan niat (shalat), karena takbir adl rukun
shalat yang awal, maka wajib bersamaan dengan niat”
Al-Imam
An-Nawawi, didalam Kitab Raudhatut Thalibin, pada fashal (فصل في النية يجب مقارنتها
التكبير)
يجب أن يبتدىء
النية بالقلب مع ابتداء التكبير باللسان
“diwajibkan
memulai niat dengan hati bersamaan dengan takbir dengan lisan”
Al-Qadhi Abu
al-Hasan al-Mahamiliy, didalam kitab Al-Lubab fi al-Fiqh asy-Syafi'i, pada
pembahasan (باب فرائض الصلاة) ;
النية، والتكبير،
ومقارنة النية للتكبير
"Niat dan
Takbir, niat bersamaan dengan takbir"
Asy-Syekh Abu
Ishaq asy-Syairaziy, didalam Tanbih fi Fiqh Asy-Syafi'i (1/30) :
وتكون النية
مقارنة للتكبير لا يجزئه غيره والتكبير أن يقول ألله أكبر أو الله الأكبر لا يجزئه
غير ذلك
"dan adanya
niat bersamaan dengan takbir, tidak cukup selain itu. dan takbir yaitu
mengucapkan (ألله أكبر) atau ( الله الأكبر), selain yang demikian tidaklah
cukup (bukan takbir)."
Jadi, shalat
telah dinyatakan mulai manakala sudah takbiratul Ihram yg sekaligus bersamaan
dengan niat (antara niat dan takbir adalah bersamaan)
nah, namun
tentang mengucapkan lafadz niat (bukan niat) maka mereka mengatakan itu boleh
bahkan hukumnya sunnah.
Melafadzkan niat
(Talaffudz binniyah) hukumnya sunnah. Kesunnahan ini diqiyaskan dengan
melafadzkan niat Haji, sebagaimana Rasulullah dalam beberapa kesempatan
melafadzkan niat yaitu pada ibadah Haji.
عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ
: لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا (رواه مسلم) “Dari sahabat Anas ra berkata : “Saya
mendengar Rasulullah SAW mengucapkan “Aku memenuhi panggilan-Mu (Ya Allah)
untuk (mengerjakan) umrah dan haji” (HR. Imam Muslim) Dalam buku Fiqh As-Sunnah
I halaman 551 Sayyid Sabiq menuliskan bahwa salah seorang Sahabat mendengar
Rasulullah SAW mengucapkan (نَوَيْتُ الْعُمْرَةَ اَوْ نَوَيْتُ الْحَجَّ) “Saya
niat mengerjakan ibadah Umrah atau Saya niat mengerjakan ibadah Haji” أنه سمعه صلى
الله عليه وسلم يقول : " نويت العمرة ، أو نويت الحج Memang, ketika
Rasulullah SAW melafadzkan niat itu ketika menjalankan ibadah haji, namun
ibadah lainnya juga bisa diqiyaskan dengan hal ini, demikian juga kesunnahan
melafadzkan niat pada shalat juga diqiyaskan dengan pelafadzan niat dalam ibadah
haji. Hadits tersebut merupakan salah satu landasan dari Talaffudz binniyah.
Hal ini, sebagaimana juga dikatakan oleh al-‘Allamah al-Imam Ibnu Hajar
al-Haitami (ابن حجر الهيتمي ) didalam Kitab Tuhfatul Muhtaj (II/12) ; (ويندب النطق)
بالمنوي (قبيل التكبير) ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من أوجبه وإن شذ وقياسا
على ما يأتي في الحج “Dan disunnahkan melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum
takbir, agar lisan dapat membantu hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang
yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syad (
menyimpang), dan Kesunnahan ini juga karena qiyas terhadap adanya pelafadzan
dalam niat haji” Qiyas juga menjadi dasar dalam ilmu Fiqh,
Al-Allamah
Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz didalam Fathul Mu'in Hal. 1 :
واستمداده من
الكتاب والسنة والاجماع والقياس.
Ilmu Fiqh
dasarnya adalah kitab Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas. Al-Imam Nashirus
Sunnah Asy-Syafi'i, didalam kitab beliau Ar-Risalah الرسالة :
أن ليس لأحد
أبدا أن يقول في شيء حل ولا حرم إلا من جهة العلم وجهة العلم الخبر في الكتاب أو السنة
أو الأجماع أو القياس
..selamanya tidak
boleh seseorang mengatakan dalam hukum baik halal maupun haram kecuali ada
pengetahuan tentang itu, pengetahuan itu adalah al-Kitab (al-Qur'an),
as-Sunnah, Ijma; dan Qiyas.” قلت لو كان القياس نص كتاب أو سنة قيل في كل ما كان نص
كتاب هذا حكم الله وفي كل ما كان نص السنة هذا حكم رسول الله ولم نقل له قياس Aku
(Imam Syafi'i berkata), jikalau Qiyas itu berupa nas Al-Qur'an dan As-Sunnah,
dikatakan setiap perkara ada nasnya didalam Al-Qur'an maka itu hukum Allah
(al-Qur'an), jika ada nasnya didalam as-Sunnah maka itu hukum Rasul (sunnah
Rasul), dan kami tidak menamakan itu sebagai Qiyas (jika sudah ada hukumnya
didalam al-Qur'an dan Sunnah). Maksud perkataan Imam Syafi'i adalah dinamakan
qiyas jika memang tidak ditemukan dalilnya dalam al-Qur'an dan As-Sunnah.
Jika ada dalilnya
didalam al-Qur'an dan as-Sunnah, maka itu bukanlah Qiyas. Bukankah Ijtihad itu
dilakukan ketika tidak ditemukan hukumnya/dalilnya dalam Al-Qur'an dan
As-Sunnah ? Jadi, melafadzkan niat shalat yang dilakukan sebelum takbiratul
Ihram adalah amalan sunnah dengan diqiyaskan terhadap adanya pelafadzan niat
haji oleh Rasulullah SAW. Sunnah dalam pengertian ilmu fiqh, adalah apabila
dikerjakan mendapat pahala namun apabila ditinggalkan tidak apa-apa. Tanpa
melafadzkan niat, shalat tetaplah sah dan melafadzkan
niat tidak merusak terhadap sahnya shalat dan tidak juga termasuk
menambah-nambah rukun shalat. Ulama Syafi’iyyah & ulama lainnya yang
mensunnahkan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) adalah sebagai berikut ;
Al-Allamah asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (Ulama Madzhab
Syafi’iiyah), dalam kitab Fathul Mu’in bi syarkhi Qurratul 'Ain bimuhimmati
ad-Din, Hal. 16 ; . (و) سن (نطق بمنوي) قبل التكبير، ليساعد اللسان القلب، وخروجا
من خلاف من أوجبه. “Disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbiratul ihram, agar
lisan dapat membantu hati (kekhusuan hati), dan karena mengindari perselisihan
dengan ulama yang mewajibkannya.” Al-Imam Muhammad bin Abi al-'Abbas
Ar-Ramli/Imam Ramli terkenal dengan sebutan "Syafi'i Kecil" [الرملي الشهير
بالشافعي الصغير]
dalam kitab
Nihayatul Muhtaj (نهاية المحتاج), juz I : 437 :
وَيُنْدَبُ
النُّطْقُ بِالمَنْوِيْ قُبَيْلَ التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ القَلْبَ وَلِأَنَّهُ
أَبْعَدُ عَنِ الوِسْوَاسِ وَلِلْخُرُوْجِ مِنْ
خِلاَفِ مَنْ
أَوْجَبَهُ
“Disunnahkan
(mandub) melafadzkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapt membantu
hati (kekhusuan hati), agar terhindar dari gangguan hati (was-was) dan karena
mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya”.
KESIMPULAN
TENTANG MELAFADZKAN NIAT
Jadi, pendapat
yang bisa dianggap menyimpang keliru adalah jika melafadzkan niat (talaffudz
binniyah) dimasukkan sebagai bagian dari fardhu shalat atau shalat dianggap
tidak cukup jika tanpa melafadzkan niat. Sebab mewajibkan melafadzkan niat sama
saja telah masukkannya sebagai bagian dari shalat, padahal tidak ada 'ulama
yang mengatakan itu, namun jika melafadzkan niat tanpa bermaksud mengatakan itu
bagian dari sholat maka itu mubah, karena awalan sholat adalah niat yakni niat
didalam hati yang bersamaan dengan takbiratul ihram. jadi silahkan yang mau
melafadzkan niat sholat namun jangan berniat atau bermaksud itu adalah bagian
dari sholat, karena sekali lagi saya katakan, awalan sholat adalah niat di
dalam hati, bukan dari lafadz niat, jadi tatkala anda mengucapkan lafadz niat
sholat, maka kemudian barulah mulai sholat dengan di awali niat dalam hati dan
takbiratul ihram secara bersamaan. jadi, yang dikritik oleh para 'ulama yang
menentang pendapat bahwa niat sholat harus dilafadzkan adalah ketika lafadz
dari niat tersebut dianggap bagian dari sholat, namun jika bukan bermaksud
mengangap bagian dari sholat maka tidak mengapa. ini yang bisa saya fahami,
itulah kenapa jika ada yang bertanya kepada saya tentang lafadzs niat maka
memang saya mengatakan tidak ada dalil yang mengatakan bahwa sholat di awali
dengan melafadzkan niat, melainkan di dalam hati dan bersamaan dengan takbir,
adapun ketika ingin melafadzkan niat maka itu sebelum memulai sholat. karena
melafadzkan niat bukan bagian dari rukun sholat.
Wallahu A'lam bis
showab
Di kutip dari berbagai sumber dengan sedikit tambahan
[khoirunnisa-syahidah.blogspot.com]
Niat Shalat Jama’ dan Qashar
Adakalanya kita
mengadakan perjalanan jauh atau berpergian yang membutuhkan waktu perjalananya
yang panjang, misalnya naik pesawat terbang, kapal laut, karyawisata,
mengunjungi kakek dan nenek di kampung halaman atau keperluan lainnya. Hal itu
menyebabkan kita sering menjumpai kesulitan untuk melakukan ibadah sholat.
Padahal sholat merupakan kewajiban umat Islam yang tidak boleh ditinggalkan
dalam keadaan apapun juga. Kasih sayang Allah kepada umat Islam sedemikian
besar dengan cara memberikan rukhsah dalam melaksanakan sholat dengan cara
jamak dan qasar dengan syarat-syarat tertentu. Apa sajakah itu? Mari kita
pelajari materi berikut ini.
Orang yang sedang
bepergian itu dibolehkan memendekkan shalat atau meringkas shalat yang jumlah
shalatnya empat raka’at menjadi dua raka’at (shalat qashar). Dibolehkan pula
mengumpulkan shalat dalam satu waktu, shalat dhuhur dengan ashar - maghrib
dengan isya’ (shalat jama’). Sedangkan shalat subuh tidak bisa diqoshor maupun
dijama’ tapi untuk shalat maghrib bisa dijama’ dan tidak bisa diqoshor.
Men-jama' shalat
ada 2. Bila dilakukan waktu shalat yamg awal (misalnya Dhuhur dan Ashar
dilakukan pada waktu Dhuhur), maka dinamakan jama' takdim dan bila dilakukan
pada waktu yang kedua (seperti Dhuhur dan Ashar dilakukan pada waktu ashar)
maka disebut jama' ta'khir.
Syarat meng-qashar
1. Bepergian yang bukan untuk tujuan
maksiat
2. Jauh perjalanan minimal 88,5 km
3. Shalat yang di-qasar adalah ada'
(bukan qadla') yang empat rakaat.
4. Niat qashar bersamaan dengan takbiratul
ihram.
5. Tidak boleh bermakmum pada orang
yang shalat sempurna (tidak di-qashar).
Syarat jama' takdim
1. Tertib, mengerjakan dua rakaat
secara urut. Dhuhur harus didahulukan tidak boleh dibalik dengan mengerjakan
Ashar dulu.
2. Niat jama' yang dibarengkan dengan
takbiratul ihram shalat yang pertama, misalnya Dhuhur.
3. Terus-menerus, antara dua shalat
yang dijama' tidak boleh diselingi dengan ibadah atau pekerjaan lain.
Syarat jama' ta'khir
1. Niat jama' ta'khir yang diwaktu
shalat yang pertama.
2. Mengerjakan shalat yang kedua
('Ashar atau Isya') masih dalam perjalanan. Bila dikerjakan ketika sudah sampai
rumah, maka tidak boleh dijama' ta'khir. Menurut qaul shahih dalam jama'
ta'khir tidak perlu disyaratkan tertib, muwalah (terus menerus) dan dengan niat jama'.
SHALAT DHUHUR JAMAK TAKDIM DENGAN SHALAT ASHAR
Keterangan:
Shalat dilaksanakan di waktu Shalat Dhuhur. Setelah Shalat Dhuhur kemudian
dilanjutkan dengan Shalat Ashar.
Niat Shalat
Dhuhur Jamak Takdim dengan Shalat Ashar
اصلى فرض الظهراربع ركعا ت مجموعا بالعصر
ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLADH DHUHRI ARBA’A RAKA’ATIN MAJMUU’AN BIL ‘ASHRI
MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Dhuhur empat rakaat dijama’ dengan Shalat Ashar
makmum/iman karena Allah Ta’alla”
Niat Shalat Ashar
Jamak Takdim dengan Shalat Dhuhur
اصلى فرض العصراربع ركعا ت مجموعا بالظهر
ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLADH DHUHRI ARBA’A RAKA’ATIN MAJMUU’AN BIL ‘ASHRI
MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Dhuhur empat rakaat dijama’ dengan Shalat Ashar
makmum/iman karena Allah Ta’alla”
SHALAT DHUHUR JAMAK TAKHIR DENGAN SHALAT ASHAR
Keterangan:
Shalat dilaksanakan di waktu Shalat Ashar. Setelah Shalat Dhuhur kemudian
dilanjutkan dengan Shalat Ashar.
Niat Shalat
Dhuhur Jamak Ta’khir dengan Shalat Ashar
اصلى فرض الظهراربع ركعا ت مجموعا بالعصر
ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLADH ‘ASHRI ARBA’A RAKA’ATIN MAJMUU’AN BIDHDHUHRI
MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Ashar empat rakaat dijama’ dengan Shalat Dhuhur
makmum/iman karena Allah Ta’alla”
Niat Shalat Ashar
Jamak Ta’khir dengan Shalat Dhuhur
اصلى فرض العصراربع ركعا ت مجموعا بالظهر
ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLADH ‘ASHRI ARBA’A RAKA’ATIN MAJMUU’AN BIDHDHUHRI
MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Ashar empat rakaat dijama’ dengan Shalat Dhuhur
makmum/iman karena Allah Ta’alla”
SHALAT DHUHUR QASHAR DAN SHALAT ASHAR QASHAR
Keterangan:
Shalat dilaksanakan di waktu masing-masing. Jumlah Rakaat Shalat Dhuhur dan
Shalat Ashar menjadi dua rakaat.
Niat Shalat Dhuhur Qoshor
اصلى فرض الظهرركعتين قصرا لله تعالى
USHALLII FARDLADH DHUHRI RAK’ATAINI QASRHRAN LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Dhuhur dua rakaat dengan Qashar karena Allah
Ta’alla”
Niat Shalat Ashar
dengan Qoshor
اصلى فرض العصرركعتين قصرا لله تعالى
USHALLII FARDLADH ‘ASHRI RAK’ATAINI QASRHRAN LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat ‘Ashar dua rakaat dengan Qashar karena Allah
Ta’alla”
SHALAT DHUHUR JAMAK TAKDIM BESERTA QASHAR DENGAN SHALAT ASHAR
Keterangan:
Shalat dilaksanakan di waktu Shalat Dhuhur. Setelah Shalat Dhuhur kemudian
dilanjutkan dengan Shalat Ashar. Jumlah Rakaat Shalat Dhuhur dan Shalat Ashar
menjadi dua rakaat.
Niat Shalat
Dhuhur Jama’ Takdim beserta Qoshor dengan Shalat Ashar
اصلى فرض الظهرركعتين قصرا مجموعا بالعصر
ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLADH DHUHRI RAK’ATAINI QASRHRAN MAJMUU’AN BIL ‘ASHRI
LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Dhuhur dua rakaat Qashar dan Jamak dengan Shalat
‘Ashar karena Allah Ta’alla”
Niat Shalat Ashar
Jama’ Takdim beserta Qoshor dengan Shalat Dhuhur
اصلى فرض العصرركعتين قصرا مجموعا بالظهر
ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLADH ‘ASHRI RAK’ATAINI QASRHRAN MAJMUU’AN BIL DHUHRI
LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat ‘Ashar dua rakaat Qashar dan Jamak dengan Shalat
Dhuhur karena Allah Ta’alla”
SHALAT DHUHUR JAMAK TAKHIR BESERTA QASHAR DENGAN SHALAT ASHAR
Keterangan:
Shalat dilaksanakan di waktu Shalat Ashar. Setelah Shalat Dhuhur kemudian
dilanjutkan dengan Shalat Ashar. Jumlah Rakaat Shalat Dhuhur dan Shalat Ashar
menjadi dua rakaat.
Niat Shalat
Dhuhur Jama’ Ta’khir beserta Qoshor dengan Shalat Ashar
اصلى فرض الظهرركعتين قصرا مجموعا بالعصر
ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLADH DHUHRI RAK’ATAINI QASRHRAN MAJMUU’AN BIL ‘ASHRI
LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Dhuhur dua rakaat Qashar dan Jamak dengan Shalat
‘Ashar karena Allah Ta’alla”
Niat Shalat Ashar
Jama’ Ta’khir beserta Qoshor dengan Shalat Dhuhur
اصلى فرض العصرركعتين قصرا مجموعا بالظهر
ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLADH ‘ASHRI RAK’ATAINI QASRHRAN MAJMUU’AN BIL DHUHRI
LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat ‘Ashar dua rakaat Qashar dan Jamak dengan Shalat
Dhuhur karena Allah Ta’alla”
SHALAT MAGHRIB JAMAK TAKDIM DENGAN SHALAT ISYA’
Keterangan:
Shalat dilaksanakan di waktu Shalat Maghrib. Setelah Shalat Maghrib kemudian
dilanjutkan dengan Shalat Isya’.
Niat Shalat
Maghrib Jama’ Takdim dengan Shalat Isya’
اصلى فرض المغرب ثلاث ركعا ت مجموعا بالعشاء
ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLAL MAGHRIBI TSALAASA RAKA’ATIN MAJMUU’AN BIL ISYAA’I
MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Maghrib tiga rakaat dijama’ dengan Shalat Isya’
makmum/iman karena Allah Ta’alla”
Niat Shalat Isya’
Jama’ Takdim dengan Shalat Maghrib
اصلى فرض العشاء اربع ركعا ت مجموعا بالمغرب
ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLAL MAGHRIBI TSALAASA RAKA’ATIN MAJMUU’AN BIL ISYAA’I
MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Maghrib tiga rakaat dijama’ dengan Shalat Isya’
makmum/iman karena Allah Ta’alla”
SHALAT MAGHRIB JAMAK TA’KHIR DENGAN SHALAT ISYA’
Keterangan:
Shalat dilaksanakan di waktu Shalat Isya’. Setelah Shalat Maghrib kemudian
dilanjutkan dengan Shalat Isya’.
Niat Shalat
Maghrib Jama’ Ta’khir dengan Shalat Isya’
اصلى فرض المغرب ثلاث ركعا ت مجموعا بالعشاء
ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLAL MAGHRIBI TSALAASA RAKA’ATIN MAJMUU’AN BIL ISYAA’I
MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Maghrib tiga rakaat dijama’ dengan Shalat Isya’
makmum/iman karena Allah Ta’alla”
Niat Shalat Isya’
Jama’ Ta’khir dengan Shalat Maghrib
اصلى فرض العشاء اربع ركعا ت مجموعا بالمغرب
ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLADH ISYAA’I ARBA’A RAKA’ATIN MAJMUU’AN BIL MAGHRIBI
MA’MUMAN/IMAAMAN LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Isya’ empat rakaat dijama’ dengan Shalat Maghrib
makmum/iman karena Allah Ta’alla”
SHALAT ISYA’ QASHAR
Keterangan:
Shalat dilaksanakan di waktu Shalat Isya’. Jumlah Rakaat Shalat Isya’ menjadi
dua rakaat.
Niat Shalat Isya’
dengan Qoshor
اصلى فرض العشاء ركعتين قصرا لله تعالى
USHALLII FARDLADH ISYA’I RAK’ATAINI QASRHRAN LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Isya’ dua rakaat dengan Qashar karena Allah
Ta’alla”
SHALAT MAGHRIB JAMAK TAKDIM BESERTA QASHAR DENGAN SHALAT ISYA’
Keterangan:
Shalat dilaksanakan di waktu Shalat Maghrib. Setelah Shalat Maghrib kemudian
dilanjutkan dengan Shalat Isya’. Jumlah Rakaat Shalat Isya’ menjadi dua rakaat.
Niat Shalat
Maghrib Jama’ Takdim beserta Qoshor dengan Shalat Isya’
اصلى فرض المغرب ثلاث ركعا ت قصرا مجموعا
بالعشاء ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLAL MAGHRIBI TSALAASA RAKA’ATIN QASRHRAN MAJMUU’AN BIL
ISYA’I LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Maghrib tiga rakaat Qashar dan Jamak dengan Shalat
Isya’ karena Allah Ta’alla”
Niat Shalat Isya’
Jama’ Takdim beserta Qoshor dengan Shalat Maghrib
اصلى فرض العشاء ركعتين قصرا مجموعا بالمغرب
ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLAL ISYA’I ARBA’A RAKA’ATIN QASRHRAN MAJMUU’AN BIL MAGHRIBI
LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Isya’ dua rakaat Qashar dan Jamak dengan Shalat
Maghrib karena Allah Ta’alla”
SHALAT MAGHRIB JAMAK TA’KHIR BESERTA QASHAR DENGAN SHALAT ISYA’
Keterangan:
Shalat dilaksanakan di waktu Shalat Isya’. Setelah Shalat Maghrib kemudian
dilanjutkan dengan Shalat Isya’. Jumlah Rakaat Shalat Isya’ menjadi dua rakaat.
Niat Shalat
Maghrib Jama’ Ta’khir beserta Qoshor dengan Shalat Isya’
اصلى فرض المغرب ثلاث ركعا ت قصرا مجموعا
بالعشاء ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLADH MAGHRIBI TSALAASA RAKA’ATIN QASRHRAN MAJMUU’AN BIL
ISYA’I LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Maghrib tiga rakaat Qashar dan Jamak dengan Shalat
Isya’ karena Allah Ta’alla”
Niat Shalat Isya’
Jama’ Ta’khir beserta Qoshor dengan Shalat Maghrib
اصلى فرض العشاء ركعتين قصرا مجموعا با
المغرب ماءموما \ اماما لله تعالى
USHALLII FARDLADH ISYA’I RAK’ATAINI QASRHRAN MAJMUU’AN BIL MAGHRIBI
LILLAAHI TA’AALAA
“Aku niat Shalat Isya’ dua
rakaat Qashar dan Jamak dengan Shalat Maghrib karena Allah Ta’alla”
Diposkan oleh Farida
Amperawati
V.
Diambil dari Satff UII
Kupas Tuntas Shalat Jamak dan Qashar
August
22nd
996102406
Shalat Jama’ adalah
melaksanakan dua shalat wajib dalam satu waktu, yakni melakukan shalat Dzuhur
dan shalat Ashar di waktu Dzuhur dan itu dinamakan Jama’ Taqdim, atau
melakukannya di waktu Ashar dan dinamakan Jama’ Takhir. Dan melaksanakan shalat
Magrib dan shalat Isya’ bersamaan di waktu Magrib atau melaksanakannya di waktu
Isya’. Jadi shalat yang boleh dijama’ adalah semua shalat Fardhu kecuali shalat
Shubuh. Shalat shubuh harus dilakukan pada waktunya, tidak boleh dijama’ dengan
shalat Isya’ atau shalat Dhuhur.
Sedangkan
shalat Qashar maksudnya meringkas
shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Seperti shalat Dhuhur, Ashar dan
Isya’. Sedangkan shalat Magrib dan shalat Shubuh tidak bisa diqashar.
Shalat
jama’ dan Qashar merupakan keringanan yang diberikan Alloh, sebagaimana
firman-Nya, yang artinya: ”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka
tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu, (QS: Annisa: 101), Dan itu merupakan
shadaqah (pemberian) dari Alloh yang disuruh oleh Rasululloh Shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk menerimanya.” (HR: Muslim).
Shalat
Jama’ lebih umum dari shalat Qashar, karena mengqashar shalat hanya boleh
dilakukan oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Sedangkan menjama’ shalat
bukan saja hanya untuk orang musafir, tetapi boleh juga dilakukan orang yang
sedang sakit, atau karena hujan lebat atau banjir yang menyulitkan seorang
muslim untuk bolak- balik ke masjid. dalam keadaan demikian kita dibolehkan
menjama’ shalat. Ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwasanya Rasululloh Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjama’ shalat Dhuhur dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan
Isya’ di Madinah. Imam Muslim menambahkan, “Bukan
karena takut, hujan dan musafir”.
Imam
Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215, dalam mengomentari hadits ini
mengatakan, “Mayoritas ulama membolehkan menjama’ shalat bagi mereka yang tidak
musafir bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak
menjadikan yang demikian sebagai tradisi (kebiasaan). Pendapat demikian juga
dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu Munzir,
berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di atas,
“Beliau tidak ingin memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan
alasan menjama’ shalatnya, apakah karena sakit atau musafir”.
Dari sini
para sahabat memahami bahwa rasa takut dan hujan bisa menjadi udzur untuk
seseorang boleh menjama’ shalatnya, seperti seorang yang sedang musafir. Dan
menjama’ shalat karena sebab hujan adalah terkenal di zaman Nabi. Itulah
sebabnya dalam hadist di atas hujan dijadikan sebab yang membolehkan untuk
menjama’, (Al Albaniy,Irwa’, III/40).
Adapun batas jarak orang dikatakan musafir terdapat perbedaan di
kalangan para ulama. Bahkan Ibnu Munzir mengatakan ada dua puluh pendapat. Yang
paling kuat adalah tidak ada batasan jarak, selama mereka dinamakan musafir
menurut kebiasaan maka ia boleh menjama’ dan mengqashar shalatnya. Karena kalau
ada ketentuan jarak yang pasti, Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mesti
menjelaskannya kepada kita, (AlMuhalla, 21/5).
Seorang
musafir baru boleh memulai melaksanakan shalat jama’ dan Qashar apabila ia
telah keluar dari kampung atau kota tempat tinggalnya. Ibnu Munzir mengatakan,
“Saya tidak mengetahui Nabi menjama’ dan mengqashar shalatnya dalam musafir
kecuali setelah keluar dari Madinah”. Dan Anas menambahkan, Saya shalat Dhuhur
bersama Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah empat rakaat dan di
Dzulhulaifah (sekarang Bir Ali berada di luar Madinah) dua rakaat,(HR: Bukhari
Muslim).
Seorang
yang menjama’ shalatnya karena musafir tidak mesti harus mengqashar shalatnya
begitu juga sebaliknya. Karena boleh saja ia mengqashar shalatnya dengan tidak
menjama’nya. Seperti melakukan shalat Dzuhur 2 rakaat diwaktunya dan shalat
Ashar 2 rakaat di waktu Ashar. Dan seperti ini lebih afdhal bagi mereka yang
musafir namun bukan dalam perjalanan. Seperti seorang yang berasal dari Surabaya bepergian ke Sulawesi, selama ia di sana ia boleh
mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya sebagaimana yang dilakukan oleh
Nabi ketika berada di Mina. Walaupun demikian
boleh-boleh saja dia menjama’ dan mengqashar shalatnya ketika ia musafir
seperti yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di
Tabuk. Tetapi ketika dalam perjalanan lebih afdhal menjama’ dan mengqashar
shalat, karena yang demikian lebih ringan dan seperti yang dilakukan oleh
Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Menurut
Jumhur (mayoritas) ulama’ seorang musafir yang sudah menentukan lama musafirnya
lebih dari empat hari maka ia tidak boleh mengqashar shalatnya. Tetapi kalau
waktunya empat hari atau kurang maka ia boleh mengqasharnya. Seperti yang
dilakukan oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’.
Beliau tinggal selama 4 hari di Mekkah dengan menjama’ dan mengqashar
shalatnya. Adapun seseorang yang belum menentukan berapa hari dia musafir, atau belum jelas kapan dia bisa kembali ke
rumahnya maka dibolehkan menjama’ dan mengqashar shalatnya. Inilah yang
dipegang oleh mayoritas ulama berdasarkan apa yang dilakukan oleh Rasululloh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika penaklukkan kota Mekkah beliau tinggal
sampai sembilan belas hari atau ketika perang tabuk sampai dua puluh hari
beliau mengqashar shalatnya (HR: Abu Daud). Ini disebabkan karena ketidaktahuan
kapan musafirnya berakhir. Sehingga seorang yang mengalami ketidakpastian
jumlah hari dia musafir boleh saja menjama’ dan mengqashar shalatnya
(Fiqhussunah I/241).
Bagi
orang yang melaksanakan jama’ Taqdim diharuskan untuk melaksanakan langsung
shalat kedua setelah selesai dari shalat pertama. Berbeda dengan jama’ ta’khir
tidak mesti Muwalah (langsung berturut-turut). Karena waktu shalat kedua
dilaksanakan pada waktunya. Seperti orang yang melaksanakan shalat Dhuhur
diwaktu Ashar, setelah selesai melakukan shalat Dhuhur boleh saja dia istirahat
dulu kemudian dilanjutkan dengan shalat Ashar. Walaupun demikian melakukannya
dengan cara berturut –turut lebih afdhal karena itulah yang dilakukan oleh Rasululloh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Seorang
musafir boleh berjamaah dengan Imam yang muqim (tidak musafir). Begitu juga ia
boleh menjadi imam bagi makmum yang muqim. Kalau dia menjadi makmum pada imam
yang muqim, maka ia harus mengikuti imam dengan melakukan shalat Itmam (tidak
mengqashar). Tetapi kalau dia menjadi Imam maka boleh saja mengqashar
shalatnya, dan makmum menyempurnakan rakaat shalatnya setelah imammya salam.
Dan sunah
bagi musafir untuk tidak melakukan shalat sunah rawatib (shalat sunah sesudah
dan sebelum shalat wajib), Kecuali shalat witir dan Tahajjud, karena Rasululloh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melakukannya baik dalam keadaan musafir
atau muqim. Dan begitu juga shalat- shalat sunah yang ada penyebabnya seperti
shalat Tahiyatul Masjid, shalat gerhana, dan shalat janazah. Wallahu a’lam bis Shawaab.
(Sumber Rujukan: Fatawa
As-Sholat, Asy-Syaikh Al Imam Abdul Aziz bin Baz dan
Al-Wajiz fi Fiqh As-Sunnah wal kitab Al-Aziz, Abdul Adhim bin Badawi Al-Khalafi
)
Posted on: Thursday, August 22, 2013 at 10:56 am